Minggu, 23 Desember 2012

MENENTUKAN TARIF PELAYANAN PUBLIK

Salah satu kewajiban aparatur negara yang juga disebut sebagai abdi negara yang diberi gaji yang tugas utamanya adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat yang juga mengikuti kewajiban negara dalam Menyelenggarakan Tugas Negara seperti yang diamanatkan UUD 1945, GBHN dan UU APBN (Mardiasmo 2000) dan juga oleh kewenangan fungsionallnya yang melekat dengan jabatan fungsionalnya adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat (public service) dalam bentuk penyediaan jasa dan barang secara prima. Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, instansi milik pemerintah apakah BUMD dan BUMN akan memberikan tarif pelayanan publik yang diwujutkan dalam bentuk Retribusi, pajak dan pembebanan tarif Jasa langsung kepada masyarakat sebagai konsumen jasa publik (charging for sevice). Walau pun masyarakat telah dibebani dengan pajak yang sebenarnya dapat dipaksakan kepada pemerintah, dan pemerintah seharusnya memberikan prestasi dan presentasi kepada masyarkat.yang akhir-akhir ini tidak semua perestasi yang diberikan oleh organisasi sektor publik kepada masyarakat yang telah dilayani dapat di buat secara gratis mengingat terdapat barang privat yang manfaat barang dan jasa hanya dinikmati secara individu, barang publik yaitu barang dan jasa kebutuhan yang dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat serta barang campuran privat dan barang publik yaitu barang kebutuhan masyarakat yang manfaatnya di nikmati secara individu tetapi sering masyarakat umum juga membutuhkan barang dan jasa tersebut “merit good” (semua orang bisa mendapatkannya tetapi tidak semua orang dapat mendapatkan barang dan jasa) tersebut seperti: air bersih, listrik, pendidikan, kesehatan, transportasi publik. Pertanyaan yang menarik timbul adalah bagaimana menentukan harga pelayanan publik yang harus di bebankan kepada masyarakat?

 
Kebijakan Elitis dan politis

Menyimak dan meminjam istilah sjahrill effendi (waspada 12/1) dalam penetapan biasanya terkesan elit dan politis karena hanya sebahagian orang yang mengambil kebijakan dan terkesan tidak teransparan, maka tarif air minum PDAM di tentukan Melalui Badan Musyawarah (BAMUS) yang dibentuk oleh PDAM. langkah merupakan langkah maju dalam penetapan tarif menuju kebijakan yang terakuntabilitas, dan perlu diikuti oleh BUMD lainnya. Namun pembentukan badan tersebut belum merupakan sebuah solusi mengingat keterwakilinya Stekholder (pihak-pihak yang berkepentingan) dalam bamus, belum mewujutkan teori stewedship yang memposisikan stekholder sebagai prinsipal sebagai pemilik yang harus di layani oleh agent.

Amanah undang-undang Rumah Sakit tentang RS sebagai BLU adalah pengampunan dosa pemerintah sehubungan dengan keidak mampuan menyediakan anggaran/dana untuk kesiapan dan ketersediaan kinerja pelayanan kesehatan di masa lalu; telah membuat RS di daerah "gulung kuming" bersiap-siap dengan sadar dan atau dengan paksaan untuk mewujudkannya. Berbagai problema menjadi miliki mereka yang ada di RS daerah dengan kesiapan menanggung sendiri dan atau secara bersama-sama stakeholder  mensikapinya. Apa yang terjadi adalah: berbagai konplik muncul dengan tematik yang berbeda-beda dan dengan ending yang beraneka pula. 

Kesiapan pemerintah melalui DEPKEU dengan berbagai kebijakannya memberikan bantuan yang seharusnya dikapi dengan tulus dan kerterbukaan, tetapi nyatanya adalah lain. Jasa pelayanan yang telah meninabobokkan yang telah mereka terima menjadi alasan mereka bersikap a priori dan curiga denga  BLU, apalagi didukung oleh manajemen yang selama ini mereka ketahui adalah serba tidak transparans dan tidak akuntabel, bagaimana mensikapinya?.

Kesulitan dalam penentuan tarif pelayanan mengingat terdapat kesulitan dalam membedakan barang publik dengan barang privat, dikarenakan: adanya kesulitan dalam menetukan batasan antara kedua barang tersebut, adanya pembebanan secara langsung. dalam pengguna Barang/jasa publik, dan Kecenderungan membebankan tarif pelayanan langsung daripada membebankannya pada pajak yang dibanyarkan secara berkala. Kesulitan berikutnya adalah terdapat anggapan bahwa dalam suatu sistem ekonomi campuran (mixed economy), barang privat lebih baik disediakan oleh pihak swasta (privat market) dan barang publik lebih baik diberikan secara kolektif oleh pemerintah yang dibiayai melalui pajak. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan pemerintah menyerahkan penyediaan barang publik kepada sektor swasta melalui regulasi, subsidi, atau sistem kontrak.

Berapa Harga Yang Harus Dibebankan

Organisasi sektor publik harus memutuskan berapa pelayanan yang dibebankan pada masyarakat. Aturan yang biasa dipakai adalah beban (charge) dihitung sebesar total biaya total tersebut terdapat (full cost recorvery). Walupun akan mengalimi kesulitan dalam menghitung biaya total dikarena:
Pertama tidak diketahui secara tepat berapa biaya total (full cost) untuk menyediakan suatu pelayanan. Oleh karena itu, kita perlu memperhitungkan semua biaya sehingga dapat mengidentifikasi biaya secara tepat untuk setiap jenis pelayanan. Namun tidak boleh terjadi pencampuradukan biaya untuk pelayanan yang berbeda atau harus ada prinsip different costs for different purposes.kedua Sangat sulit mengukur jumlah yang dikonsumsi, Karena jumlah biaya untuk melayani satu orang dengan orang lain berbeda-beda, maka diperlukan perbedaan pembebanan tarif pelayanan, sebagai contoh diperlukan biaya tambahan untuk pengumpulan sampah dari lokasi rumah yang sulit dijangkau atau memiliki jarak yang jauh.
ketiga Pembebanan tidak memperhitungkan kemampuan masyarakat untuk membayar. Jika orang miskin tidak mampu membayar suatu pelayanan yang sebenarnya vital, maka mereka harus disubsidi. Mungkin perlu dibuat diskriminasi harga atau diskriminasi produk untuk menghindari subsidi. Keempat Biaya yang harus diperhitungkan, apakah hanya biaya operasi langsung (current operation cost), atau perlu juga diperhitungkan biaya modal (capital cost). Yang akan memasukkan bukan saja biaya opersai dan pemeliharaan, akan tetapi juga biaya penggantian barang modal yang sudah usang (kadaluwarsa), dan biaya penambahan kapasitas Hal inilah yang disebut marginal cost pricing.

Kompleksitas Strategi Harga

Terdapat beberapa alternatif dalam menentukan harga yaitu dengan Two-part tariffs: yaitu fixed charge untuk menutupi biaya overhead atau biaya infrastruktur dan variabel charge yang didasarkan atas besarnya konsumsi. Dengan Peak-load tariffs: pelayanan publik dipungut berdasarkan tarif tertinggi. Permasalahannya adalah beban tertinggi, membutuhkan tambahan kapasitas yang disediakan, tarif tertinggi untuk periode puncak harus menggambarkan higher marginal cost (seperti telepon dan transportasi umum). Dengan Diskriminasi harga. Hal ini adalah salah satu cara untuk mengakomodasikan pertimbangan keadilan (equity) melalui kebijakan penetapan harga, dengan Full cost recorvery. Harga pelayanan didasarkan pada biaya penuh atau biaya total untuk menghasilkan pelayanan dan Harga di atas marginal cost. Dalam beberapa kasus, sengaja ditetapkan harga diatas marginal cost, seperti tarif mobil, adanya beberapa biaya perijinan atau licence fee.
Penetuan tari ini juga harus mempertimbangkan Opportunity cost untuk staf, perlengkapan dll, Opprtunity cost of capital, Accounting price untuk input ketika harga pasar tidak menunjukkan value to siciety (opportunity cost). Polling, ketika biaya berbeda-beda antara setiap individu. Dan Cadangan inflasi.Pelayanan menyebabkan unit kerja harus memiliki data biaya yang akurat agar dapat mengestimasi marginal cost, sehingga dapat ditetapkan harga pelayanan yang tepat.
Marginal cost pricing bukan merupakan satu-satunya dasar untuk penetapan harga di sektor publik. Digunakan marginal cost pricing atau tidak, yang jelas harus ada kebijakan yang jelas mengenai harga pelayanan yang mampu menunjukkan biaya secara akurat dan mampu mengidentifikasi skala subsidi publik.

Standar pelayanan Minimum (SPM)

Berapapun harga yang dibebankan kepada masyarakat harusnya juga merujuk pada setandar yang dibuat oleh organisasi sektor publik sebagi bentuk perbandingan pelayanan yang dapat di ukur, untuk itu sektor publik harus segera merumuskan Standar Pelayanan Minimum (SPM) yang menekankan pada pengelolanan sektor publik yang memiliki paradikma Value for money merupakan konsep pengelolaan organisasi sektor publik yang mendasarkan pada tiga elemen utama yaitu: ekonomi, efesiensi, dan efektifitas
Ekonomi merupakan perbandingan input dengan input value yang dinyatakan dalam satuan moneter. Ekonomi terkait dengan sejauh mana organisasi sektor publik dapat meminimalisir input resources yang digunakan yaitu dengan menghindari pengeluaran yang boros dan tidak produktif. Efisiensi: pencapaian output yang maksimum dengan input yang tertentu atau penggunaan input yang terendah untuk mencapai output tertentu dan Efisiensi merupakan perbandingan output/input yang dikaitkan dengan standar kinerja atau target yang telah ditetapkan.
 
Dalam penentuan standar pelayanan minimum sebagai fetback pelayanan kepada masyarakat maka organisasi sektor publik harus memperhatikan stekholder sebagai orang yang berkentingan dengan keberadaan perusahaan karenanya keterlibatan stekholder dalam penyusunan tarif dan standar pelayanan minimum sangant urgen seperti, masyarakat umum, akademisi dan para konsultan dan pihakpihak yang konsen dalam sektor publik.

Penutup

Pembebanan pelayanan publik merupakan salah satu sumber penerimaan bagi pemerintah selain pajak, penjualan aset milik pemerintah, utang, dan laba BUMN/BUMD. Aturan yang bisa dipakai adalah beban dihitung sebesar total biaya untuk menyediakan pelayanan tersebut. Dalam menentukan harga pelayanan publik juga dianut konsep different cost for purposes yaitu membedakan biaya untuk pelayanan yang berbeda. Masalah lain adalah adanya hidden cost yang menyulitkan dalam mengetahui total biaya. Kesulitan untuk menghitung biaya total adalah karena sulit mengukur jumlah yang dikonsumsi dan perbedaan jumlah biaya untuk melayani masing-masing orang.

naskah asli dari: Muhammad Rizal SE.,M.Si 

Kamis, 19 April 2012

Pelatihan Applied Approach Dosen PTS

HAND-OUT FOR PARTICIPANT Applied Approach (AA) untuk Dosen Universitas Andalas 2009

di sadur dari: Sawirman dan Team P3AI Universitas Andalas

I. PRA-PELATIHAN
Peserta sudah dibagi ke dalam tiga kelompok (A, B, C)

II. PENDAHULUAN
1. Silakan sediakan “Double Folio/HVS khusus” untuk membuat Tugas Individu dan Kelompok yang akan dikumpul diakhir sesi.
2. Greeting dan penjelasan awal oleh instruktur seputar kompetensi dan kegiatan belajar (10 menit)

KOMPETENSI KHUSUS
PENGENALAN ASESMEN ALTERNATIF
Setelah mengikuti pelatihan peserta mampu
menjelaskan konsepsi dan landasan teori asesmen alternatif
membuat peta konsep asesmen alternatif
menjelaskan kelebihan dan kelemahan asesmen alternatif
menjelaskan konsepsi tentang rubrik
menjelaskan tujuan, manfaat, dan kriteria pembuatan rubrik

MODEL TUGAS DAN RUBRIK (ASESMEN ALTERNATIF)
Setelah mengikuti pelatihan peserta mampu
menetapkan pilihan assesmen alternatif sesuai dengan mata kuliah yang diampu
merancang contoh tugas asesmen alternatif sesuai dengan mata kuliah yang diampu
menjelaskan kesulitan yang dihadapi dalam merancang tugas (asesmen alternatif)
merancang contoh rubrik sesuai dengan tugas pada mata kuliah yang diampu

III. KEGIATAN BELAJAR
3.1 PENGENALAN ASESMEN ALTERNATIF
A. Menulis Pendapat
1. Semua anggota kelompok A, B, dan C silakan baca REFERENSI ASESMEN ALTERNATIF (buku 2.09 hal. 1-30), setelah itu buat Peta Konsep atau Skema sesuai referensi yang dibaca (waktu 15 menit).
2. Untuk semua peserta, tulislah dalam kalimat Anda sendiri karakteristik ASESMEN ALTERNATIF yang sudah Anda baca (Waktu 10 menit)!
3. Untuk semua peserta, mohon juga Anda tulis kelebihan dan kelemahan ASESMEN ALTERNATIF! (Waktu 10 menit).

B. Diskusi Kelompok dan Pleno
4. Diskusikan dengan teman Anda sekelompok kerja individu Anda sebelum dipresentasikan pada diskusi pleno! (Waktu 15 menit).
5. Sekarang silakan Anda presentasikan hasil kelompok Anda pada diskusi pleno! (Semua kelompok presentasi dan dibuka forum tanya jawab). (Waktu 45 menit/15 menit per kelompok).

3.2 MODEL TUGAS DAN RUBRIK (ASESMEN ALTERNATIF)
A. Merancang Contoh Asesmen Alternatif
1. Silakan rancang contoh asesmen alternatif sesuai dengan mata kuliah yang diampu (Waktu 15 menit).
2. Silakan rancang contoh rubrik sesuai dengan mata kuliah yang diampu (Waktu 15 menit).

B. Mendiskusikan Rancangan AA
3. Meminta peserta secara acak sebagai wakil masing-masing fakultas untuk rancangan model AA, senarai AA, dan kesulitan yang dihadapi (dipimpin fasilitator) (Waktu 20 menit).
4. Komentar Instruktur sebagai fasilitator (15 menit).

IV. PENUTUP
1. Mengumpulkan tugas/laporan individu seputar (1) peta konsep/skema, (2) kharakteristik AA, (3) kelebihan/kelamahan AA, (4) model AA/senarai sesuai mata kuliah, dan (5) kesulitan yang dihadapi penerapan AA sesuai mata kuliah masing-masing! (5 menit)
2. Penjelasan materi pengayaan/tugas rumah oleh instruktur (5 menit)

Reference:
1. Buku 2.09 tentang Alternative Assesment.
2. An Alternative Assessment of the Humanitarian Assistance in the Irrawaddy
Delta Prepared by Ko Shwe 23rd July, 2008
3. Alternative Assessment Options for High School Graduation: Interim Report by
Washington State for Public Policy tahun 2007.
4. Washington’s High School Assessment System: A Review Of
Student Performance On The Wasl And Alternative Assessment Options by Wade

Kamis, 23 Februari 2012

ANGKA KEMATIAN DI RUMAH SAKIT, ADA APA DENGANNYA, ….

Oleh: JONI RASMANTO, SKM, MKES*

Tulisan ini terinspirasi dari pesan singkat seorang sahabat yang sedang mengikuti RAPAT di BAPPEDA, entah apa pembahasannya di awal tahun ini, yang ikut semua SKPD: “barangkali perihal kinerja atau pertanggungjawaban SKPD tahun 2011, atau perihal LAKIP”. Bukannya tidak mau nanya sama yang bersangkutan.
Berbagai indikator jika diberlakukan dan dijadikan perhatian berlaku dan seharusnya diberlakukan dan menjadi perhatian di jajaran pemerintah daerah dalam mengevaluasi kinerja pelayanan kesehatan baik itu di puskesmas dan atau di rumah sakit daerah dan atau di Dinas Kesehatan Kabupaten. Berbagai kebijakan berlaku untuk dan bagi semuanya, kebijakan DEPDAGRI barangkali perihal SPM dan LAKIP, DEPKEU barangkali tentang pengelolaan anggaran dan penerimaan retribusi, DEPKES jelas ke arah mutu pelayanan kesehatan.
Dari pengalaman kerja, setahu penulis; analisa data pelayanan kesehatan hanya sebatas trend, jika membandingkan dengan standar belumlah seluas dan sedalam kajian ilmiah yang proporsional, adil dan komprehensif, hanya sebatas membandingkan dalam porsi angka kuantitatif yang dideskripsikan dengan kwalitatif. Apakah ini dikarenakan kompetensi sumber daya manusia yang ada di institusi tersebut atau ada beberapa “variable lain” yang menyebabkan hal itu tidak dilaksanakan.
Angka kematian adalah indikator hasil kinerja dari sebuah proses pelayanan kesehatan, di rumah sakit ada kematian di bawah 48 jam dan ada kematian di atas 48 jam, kematian yang terjadi di bawah 48 jam diindikasikan jika terjadi adalah semata karena faktor tingkat kegawatan yang berpihak atau berada pada pasien, artinya kondisi pasien lebih menentukan kematiannya. Selanjutnya dapat dijelaskan bahwa peran proses pelayanan kesehatan dengan berbagai sumber dayanya dalam kematian di bawah 48 jam belumlah selesai dilaksanakan. Obat saja yang kita makan akan bereaksi terhadap tubuh dan tubuh bereaksi terhadap obat memerlukan waktu lebih dari 4 jam, itupun jika kita dengan kondisi yang dapat dikatakan sehat.
Sedangkan kematian di atas 48 jam jika terjadi di unit pelayanan kesehatan dimana proses pelayanan kesehatan sudah diberikan dengan kondisi standarisasi dari berbagai unsur manajemennya masih perlu dipertanyakan lagi. Kenapa demikian?.
Jawabnya adalah:
1. keadaan atau perjalanan penyakit pasien pada waktu masuk rumahsakit sudah sedemikian lanjut, sehingga metoda-metoda pelayanan medis yang efektif tidak ada (tidak diinginkan oleh pasien dan atau oleh anggota keluarganya yang bertanggungjawab), dan kematian merupakan akibat yang sudah diperkirakan sebelumnya.
2. hasil pemeriksaan catatan medik menunjukkan bahwa kematian jelas merupakan akibat langsung dari campur tangan dokter yang merawatnya, dari kegagalan untuk mendiagnosis dengan tepat atau pada waktunya, atau ada faktor dari Sistem, Input, Proses dan Luaran Pelayanan Kesehatan rumahsakit.
3. catatan medik memperlihatkan bahwa kejadian penyebab yang mengakibatkan kematian sewajarnya tidak dapat diperkirakan.
4. sebab kematian sedemikian rupa sehingga sewajarnya dapat diperkirakan sebelumnya dan apa yang ditulis (tertulis) dalam catatan medik membuktikannya. Meskipun kejadian penyebab sebenarnya dapat diperkirakan sebelumnya dan usaha-usaha pencegahan yang diketahui sudah dilakukan dengan tepat dan pada waktunya (kecuali apabila ada bukti bahwa usaha itu tidak diingini), kejadian penyebab tetap terjadi juga.
5. kejadian penyebab sewajarnya dapat diperkirakan hanya dengan pengertian bahwa mereka yang bertanggung jawab terhadap perawatan pasien harus waspada dan mengamati tanda-tanda serta gejala-gejala awal dari kemungkinan permulaan komplikasi-komplikasi atau kegagalan-kegagalan, supaya dapat sembuh secara normal.
Pembenaran pembenaran dalam kategorii ini dapat berdasarkan atas apa yang tertulis dalam cacatan dokter (catatan medik) dan atau catatan perawat, yaitu:
a. pengamatan profesional dengan atau tanpa menggunakan peralatan kesehatan yang tersedia yang dilakukan terus menerus sehingga permulaan penyakit dapat dikenal pada waktunya, ada komunikasi pada waktunya, diagnosis dan usaha usaha responsif tampaknya tepat, tetapi kematian terjadi juga.
b. Walaupun pengamatan profesional yang terus menerus dilakukan dan tepat seperti yang tertulis dalam catatan medik, kejadian penyebab timbul dalam keadaan tanda-tanda serangan awal tidak ada atau menyesatkan, sehingga kegagalan dari usaha apa saja yang diberikan dapat dibenarkan.

Upaya validasi hasil check list dilakukan wawancara mendalam dengan 5 (lima) materi pokok, yaitu audit, rekam medik, PSO, catatan dokter/catatan perawat dan kematian pasien terhadap tenaga kesehatan di instalasi ranap. Jawaban dari wawancara ini diolah secara koding memakai opencode software untuk mengetahui pembenaran atas check list kelengkapan rekam medik dan penyimpangan kematian.
Kematian dari analisa ini adalah kematian di atas 48 jam yang dibenarkan dan yang tidak dibenarkan. Untuk kematian yang tidak dibenarkan, informasi kualitatif dari pendalaman kasusnya dapat dijadikan informasi actual, factual dan komprehensif untuk perbaikan proses pelayanan kesehatan guna mewujudkan mutu pelayanan kesehatan yang sama-sama kita harapkan dapat terwujud.
Kematian adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari oleh manusia, namun demikian kematian juga merupakan salah satu indikator mutu pelayanan kesehatan yang penting. World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa dari tahun 2005-2010 diperkirakan terdapat 850 kematian per 100.000 penduduk yang terjadi setiap tahunnya. (WHO, 2010). Di Inggris dan Wales pada tahun 2005 lebih kurang 73% dari total kematian terjadi di fasilitas pelayanan kesehatan rumah sakit (RS). Tingginya angka kematian di RS merupakan pertanda akan kemungkinan adanya masalah mutu pelayanan yang memerlukan tindakan perbaikan, hal ini ditunjukan antara lain dalam buku “to err is human” dari IOM maupun dari penelitian yang dilakukan oleh Hayward (2001) yang mengungkapkan bahwa kurang lebih 22,7% dari kematian yang terjadi di RS sebenarnya dapat dihindarkan dengan perawatan optimal.
Dalam upaya meningkatkan perawatan yang optimal, audit kematian sering digunakan sebagai alat untuk mengembangkan strategi penurunkan angka kematian, bahkan audit kematian sudah digunakan oleh Florence Nightingale pada abad 19 (Wright, et al., 2006). Dengan audit kematian dapat ditemukan variasi yang luas dari penyebab mortalitas di rumah-sakit, beberapa sebagai akibat dari komplikasi yang diderita oleh pasien, namun beberapa kasus lain tidak dapat dijelaskan penyebab kematian dan menjadi cerminan dari kualitas pelayanan (Jarman et al., 2005).
Tingginya angka kematian bukanlah merupakan masalah yang tidak dapat diatasi. Beberapa intervensi telah dikembangkan untuk menyusun dan menerapkan sebuah program yang dapat menurunkan angka kematian. Salah satu yang tercatat pernah dilakukan adalah di Bradford Teaching Hospital pada tahun 2002, melalui sebuah Hospital Mortality Reduction Programme. Program ini berhasil menurunkan sebanyak 905 kematian selama periode 2002-2005 atau dari 94,6% kematian pada tahun 2001 menjadi 77,5% pada tahun 2005. Selain itu Institute for Healthcare Improvement (IHI) membuat program untuk menyelamatkan 100.000 nyawa dengan menurunkan angka kematian pasien rawat inap di rumah sakit di Amerika dikenal dengan nama The 100.000 Lives Campaign.

1. Audit Kematian
Berbagai istilah digunakan untuk kegiatan evaluasi kasus-kasus kematian yang terjadi di sarana pelayanan kesehatan termasuk di rumah sakit antara lain: Audit Kematian, Mortality Audit, Mortality Review, Mortality Meeting, Death Conference, Review of Death, Expert Mortality Panel. Evaluasi tersebut terutama untuk mengidentifikasi apakah kematian yang terjadi merupakan kematian yang dapat dihindari/avoidable death atau kematian yang tidak dapat dihindari/inevitable death .
Beberapa penelitian menggambarkan banyaknya kematian yang dapat dicegah atau yang seharusnya tidak terjadi, sebanyak 44.000 sampai dengan 98.000 kematian per tahun di Amerika (IOM, 1999) atau 11% kematian di ICU membuat kegiatan audit kematian dinilai perlu dilakukan secara rutin. (VMIA, 2010)
Berbagai metode dapat dilakukan pada audit kematian, namun demikian metode dapat digolongkan menjadi 2 metode. Metode pertama disebut sebagai metode tradisional ( mortality meeting) atau karena seringkali juga membahas mengenai penyakit tertentu sehingga juga disebut sebagai morbidity and mortality meeting (M&M meeting), metode ini sudah dikembangkan sejak tahun 1910 an terutama oleh dokter bedah dan anesthesi di Amerika untuk mengidentifikasi adanya medical error. Metode ini kemudian berkembang lebih kearah pendidikan kedokteran (terutama pendidikan dokter spesialis) dimana kasus kematian yang dipresentasikan dipilih dan disesuaikan dengan kebutuhan pendidikan ataupun kasus yang dianggap menarik sehingga tidak semua kasus kematian dievaluasi. Pada pelaksanaannya M&M meeting ini juga sering menghabiskan waktu lebih banyak untuk presentasi kasus dan tanggapan dari narasumber (konsulen) sehingga tidak banyak proses diskusi dan indentifikasi masalah dalam sistem pelayanan hingga usulan upaya perbaikan (VMIA, 2010)
Metode kedua adalah dengan pendekatan terstruktur dengan kompen-komponen:
Pengumpulan dan penyajian data kematian yang dikumpulkan secara teratur (meliputi data demografi, data kontinue, angka/rate kematian, perbandingan dengan RS lain, per unit/jenis penyakit; per individu pasien); Pengambilan dan analisa data klinik kasus kematian ( clinical mortality information ); Identifikasi pola klinik; Penerapan perbaikan sistem atau praktek medik/klinik; dan Evaluasi.
Terdapat beberapa cara audit kematian melalui pendekatan terstruktur ini, ada yang simpel seperti dilakukan Behal (2009) yang mengevaluasi kematian yang terjadi dengan hanya menjawab dua pertanyaan pokok: Pertama tentang bagaimana tingkat keparahan dan kompleksitas kondisi/penyakit pasien? Kedua tentang kemungkinan terdapatnya masalah mutu pelayanan yang terkait dengan penerapan evidence based practices atau sistem. Atau pendekatan yang lebih kompleks seperti yang dilakukan oleh VMIA ataupun di Western Australia dimana seluruh kasus kematian diidentifikasi terlebih dahulu karekteristiknya seperti umur, jenis kelamin, diagnosa masuk, lama perawatan, hari meninggal, dan sebagainya. Kemudian diikuti dengan identifikasi adanya Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) melalui trigger tools. Apabila terdapat 1 atau lebih trigger maka kasus kematian tersebut dibahas ditingkat peer review untuk ditentukan apakah merupakan kasus kematian yang dapat dicegah atau tidak Kematian dikatakan tidak dapat dicegah bila memenuhi salah satu kriteria berikut:
Suatu kasus terminal yang tidak dapat kembali baik; Keadaan penyebab tidak dapat diatasi walaupun diagnosis yang dibuat sudah tepat; Pengobatan sudah diberikan dengan cara yang memadai dan tepat pada waktunya. Sedangkan kematian disebut dapat dicegah bila: Penyebab kematian tidak didukung dengan data/bukti yang ada; Tindakan pencegahan munculnya penyebab kematian tidak adekuat; Pencegahan tidak dilakukan; Penyebab kematian tidak diketahui; Diagnosis terlambat ditegakkan; Pengobatan atas diagnosis tidak adekuat

2. Upaya menurunkan angka kematian rumah sakit
Dari data agregat seluruh kasus kematian yang diaudit maka dapat diidenfikasi besarnya kasus kematian yang seharusnya dapat dicegah, dilanjutkan dengan diskusi untuk menentukan penyebab masalah dan tindak lanjut yang memiliki potensi untuk menurunkan angka kematian. Upaya menurunkan angka kematian rumah sakit merupakan salah satu kunci penting dalam peningkatan patient safety (Behal & Finn, 2009). Banyak program yang telah dikembangkan oleh berbagai intitusi untuk mendukung upaya menurunkan angka kematian rumah sakit, antara lain: Hospital Mortality Reduction Programme (HMRP), dikembangkan oleh oleh Bradford Teaching Hospital pada tahun 2002 dengan komitmen dari seluruh pimpinan dan klinisi disana untuk mengeliminasi seluruh kematian yang tidak perlu terjadi (Wright et al., 2006).
Program ini dimulai dengan melakukan tinjauan/audit terhadap seluruh kematian yang terjadi di rumahsakit. Hasil audit menunjukkan penyebab kamatian yang tidak seharusnya terjadi disebabakan karena sistem pengamatan klinis yang suboptimal, infeksi yang didapat di rumahsakit serta kesalahan pengobatan. Strategi dan pendekatan yang kemudian dilaksanakan adalah: memperbaiki sistem observasi klinis dengan pembuatan Modified Early Warning Score berupa instrumen untuk menilai tingkat keparahan kondisi klinis pasien dan kapan intervensi diperlukan; Membuat panduan untuk kasus-kasus teminal, pelatihan tim, dan pelatihan perawat untuk melakukan home care, sehingga pasien-pasien stadium terminal dapat dirawat dirumah, dibandingkan harus meninggal di rumahsakit;
Pengendalian Infeksi, berupa kampanye mencuci tangan, pelatihan kewaspadaan untuk para karyawan di rumah sakit, peningkatan kebersihan bangsal, pelatihan mengenai infeksi, panduan penggunaan antibiotik di rumah sakit, peningkatan surveilans dan umpan balik mengenai tingkat infeksi. Program untuk peningkatan Keselamatan pasien, diantaranya review dari peresepan dan administrasi obat-obat yang mempunyai risiko tinggi seperti warfarin, heparin, potasium dan metotreksat. Selain itu dikembangkan juga program untuk memonitor efek samping obat dan adverse drug events.
Program lain adalah The 100.000 Lives Campaign, dipelopori oleh Institute for Healthcare Improvement (IHI) yaitu dengan kampanye untuk menyelamatkan 100.000 nyawa dengan menurunkan angka kematian pasien rawat inap di rumah sakit di Amerika. Program utama pada kampanye ini adalah dengan meningkatkan implementasi dari 6 program berbasis bukti, terdiri dari 6 program berbasis bukti, yaitu: Tim Reaksi Cepat; Rekonsiliasi Medikasi; Pencegahan infeksi jalur sentral; Pencegahan infeksi di tempat pembedahan; Pencegahan pneumonia karena pemakaian ventilator; dan Perawatan berbasis bukti untuk infark myocard.
Di Indonesia saat ini dan beberapa tahun sebelumnya kegiatan akreditasi rumah sakit merupakan salah satu upaya untuk menegakan standarisasi dari semua unsur manajemen pelayanan kesehatan di rumah sakit dan atau di puskesmas. Program ISO, SNi dan lain sebagainya bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan jika saja semua stake holder berperan dan mau berkeringat karenanya.

Bagaimana rumah sakit anda menyikapi kematian, ………

Semoga tulisan ini memberikan manfaat bagi kita semua, amin

* Penulis adalah Ketua Akreditasi RSD Kol. Abundjani Bangk