”sepertinya masyarakat atau keluarga hanya tahu bahwa
anak harus diberikan makan seperti halnya orang dewasa harus makan tiap
harinya...............” Dimana petugas gizi, dimana pemerintah, dimana kita
Peningkatan derajat
kesehatan masyarakat diperlukan dalam mengisi pembangunan yang dilaksanakan
oleh bangsa Indonesia (ada
yang menuliskan dengan kata”sangat” diantara masyarakat dan diperlukan,
sehingga kalimat ini menjadi: “Peningkatan derajat kesehatan masyarakat SANGAT diperlukan dalam mengisi pembangunan
yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia.” Penulis tidak sama dengan yang
menempatkan kata sangat, karena memang upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat diperlukan untuk menunjukkan bahwa pemerintah
peduli rakyatnya. Faktanya adalah masih ada rakyat miskin, walau program dan
pemanfaatan sumberdaya pendukung program sudah tersedia dan disediakan. Pertanyaannya
adalah: “5 w + 1H seputar program yang mencerminkan kegagalan (menurut saya)
itu.
Pertanyaan Pertama: Program
Perbaikan Gizi Masyarakat (PPGM) tersusun dengan penyusunan yang mungkin baik
karena diikuti dengan buku pedoman, dilaksanakan sosialisasi buku pedoman,
disediakan anggaran sesuai buku pedoman dan kebutuhan (karena direncanakan
sendiri berapa kebutuhannya) tetapi hasilnya : MASIH DITEMUI STATUS GIZI KURANG
DAN GIZI BURUK di berbagai wilayah kerja PUSKESMAS. Apa yang terjadi. Mohon maaf jika pemaparan ini tidak
sesuai dengan apa yang sudah kita laksanakan. Berbagai penelitian menyimpulkan
bahwa:
1. Petugas PPGM di Puskesmas adalah tidak
tetap (mutasi unsur kepegawaian dan bahkan unsur politik) berada di Puskesmas. Saat
BIMTEK diikuti oleh A dan proses mutasi menyebabkan A pindah maka PPGM
dilakukan oleh B. Paska BIMTEK A tidak melaksanakan kewajibannya dalam
menjalankan amanat PERJALANAN DINAS dan TUGAS dari PENYELENGGARA BIMTEK untuk
TOT di Wilayah kerjanya. (istilah saya habis ditelan A).
2. Tidak secara menyeluruh membaca buku
pedoman dan berusaha memahami isi buku pedoman (masih untung ada yang membaca,
artinya pendistribusian buku dari kemenkes ke dinkes prov dan dari dinkes prov
ke dinkes kota/kab dan dari dinkes kota/kab ke Puskesmas atau ke petugas berjalan).
3. Membaca tidak diikuti pemahaman yang
seragam jelas memunculkan persepsi berbeda, persepsi berbada jelas menghasilkan
kegiatan implementasi yang berbeda dan perbedaan itulah yang memunculkan masih
adanya pernik masalah perbaikan gizi).
4. Masih ada berbagai bukti lain yang jika
dipaparkan akan menambah item ini; kita lanjut ke pertanyaan kedua.
Pertanyaan Kedua: Salah
satu kegiatan PPGM adalah PMT AS (singkatan dari “barangkali” PEMBERIAN MAKANAN
TAMBAHAN ANAK SEKOLAH). Laporan pelaksanaan kegiatannya dilakukan di xx SD di
wilayah Puskesmas, artinya cakupannya bisa saja ke jumlah SDnya, bisa juga ke
jumlah muridnya. Tetapi masih ada kasus, masih ada angka kejadian. Apa yang
terjadi. Pengalaman lapangan dari mereka yang melaksanakan membuktikan bahwa: PEMBERIAN
MAKANAN TAMBAHAN ANAK SEKOLAH tidak dengan frekwensi pelaksanaan yang
diprogramkan (contoh sebulan sekali), atau nilai kalori MTAS tidak Kilo kalori
kebutuhan anak sekolah. Pertanyaan yang mengikuti adalah mengapa ini terjadi:
Jawabannya mungkin: Mental Konsumtif Petugas demi kepentingan pribadi dan
rendahnya pengawasan serta tidak kritisnya lembaga sekolah.
Pertanyaan Ketiga: Menilai
Status gizi adalah dengan penimbangan, alat penimbangan yang disediakan
Kemenkes ada yang digunakan dan ada yang tidak digunakan, yang digunakan tidak
dikalibrasi keakuratannya dan yang tidak digunakan tidak dapat
dipertanggungjawabkan kemana hilangnya. Guna proses penimbangan digunakan
timbangan dagang yang seharusnya diminitor ketepan ukurannya oleh Badan Meteorologi.
Ada yang aneh disini, alat ukur kesehatan (dalam pedomannya) dipelihara dengan
kegiatan kalibrasi oleh BPFK, bukan oleh BMG atau KOPERINDAG. BB balita sama
dengan berat beras, dan ketepatan ukuran hanya sebatas KG yang dapat dibaca,
pengukuran BB yang tepat akan membantu penilaian kebutuhan kalori yang tepat.
(mungkin, karena saya juga ragu).
Pertanyaan ini akan
bertambah jika kemampuan analisa kita terhadap kondisi lapangan berpedoman
kepada apa yang seharusnya dilaksanakan dengan cara yang seharusnya dikerjakan.
Ada SPM, ada indikator, ada SOP dan ada buktinya serta dapat
dipertanggungjawabkan.
Salah satu upaya
peningkatan derajat kesehatan adalah perbaikan gizi masyarakat, gizi yang
seimbang dapat meningkatkan ketahanan tubuh, dapat meningkatkan kecerdasan dan
menjadikan pertumbuhan yang normal (Depkes RI, 2004). Namun sebaliknya gizi
yang tidak seimbang menimbulkan masalah yang sangat sulit sekali ditanggulangi
oleh Indonesia, masalah gizi yang tidak seimbang itu adalah Kurang Energi
Protein (KEP), Kurang Vitamin A (KVA), Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY)
dan Anemia Gizi Besi (Depkes RI, 2004). Pernyataan ini seharusnya melibatkan semua sektor
pelaksana pembangunan negeri. Korelasi peran serta mereka sepertinya hanya dilakukan
oleh Kemenkes (huebat sekali kemenkes RI ini). Diketahui dari pohon gizi bahwa
kemampuan ekonomi berasal dari ketersediaan lapangan kerja, jika ketersediaan
lapangan kerja sulai didapat maka kemampuan ekonomi jauh dari jangkauan (pendapatan
perkapita penduduk pertahun masih terendah di Asia Tenggara walau pertumbuhan
ekonomi kreatifnya 7% tahun 2013); kemampuan ekonomi yang jauh dari jangkauan mengakibatkan
akses terhadap ketersediaan dan kecukupan kebutuhan sumber gizi keluarga
mendapat hambatan. Selanjutnya dapat dibayangkan ketidakcukupan kalori, protein
dan energi terjadi sepanjang 300 hari selama satu bulan dan 365 hari sepanjang
tahun. Kondisi ini bukan lagi hanya milik KEMENKES RI.
Khusus untuk
masalah Kurang Energi Protein (KEP) atau biasa dikenal dengan gizi kurang atau
yang sering ditemukan secara mendadak adalah gizi buruk terutama pada anak
balita, masih merupakan masalah yang sangat sulit sekali ditanggulangi oleh
pemerintah, walaupun penyebab gizi buruk itu sendiri pada dasarnya sangat
sederhana yaitu kurangnya intake (konsumsi) makanan terhadap kebutuhan makan seseorang,
namun tidak demikian oleh pemerintah dan masyarakat karena masalah gizi buruk
adalah masalah ketersediaan pangan ditingkat rumah tangga, tetapi anehnya
didaearah-daearah yang telah swasembada pangan bahkan telah terdistribusi merata
sampai ketingkat rumah tangga (misalnya program raskin), masih sering ditemukan
kasus gizi buruk, padahal sebelum gizi buruk ini terjadi, telah melewati
beberapa tahapan yang dimulai dari penurunan berat badan dari berat badan
ideal seorang anak sampai akhirnya
terlihat anak tersebut sangat buruk (gizi buruk). Satu atau berbagai masalah yang sebenarnya muncul dari kemampuan menganalisa pohon
gizi dan menilai efisiensi dan efektifitas pelaksanaan berbagai program
pembangunan.
Menjelang ditutupnya
tulisan ini saya mengajak kita semua menghitung. Apa yang kita hitung.
1. Menjumlahkan rupiah uang negara yang
dikorupsi sejak 2004
2. Menghitung harga kebutuhan sumber
pangan yang menghasilkan kilokalori/energi/protein per hari
3. Menghitung jumlah balita seluruh Indonesia
4. Menghitung kebutuhan rupiah dari
kalkulasi no 2 dan 3
5. Membagi nilai 1 dan nilai 4 KEPADA
KELUARGA MISKIN maka hasilnya adalah TIDAK DITEMUINYA STATUS GIZI KURANG DAN
BURUK
6. MEMASTIKAN BAHWA 5 DILAKSANAKAN DENGAN BENAR,
JUJUR DAN BERTANGGUNG JAWAB..
Dalam PPGM masalahnya
barangkali DARI sudut ILMU GIZI adalah MASIH ADANYA
masyarakat atau keluarga balita YANG belum mengatahui
cara menilai status berat badan anak (status gizi anak) atau juga belum mengetahui pola pertumbuhan berat
badan anak, sepertinya masyarakat atau keluarga hanya tahu bahwa anak harus
diberikan makan seperti halnya orang dewasa harus makan tiap harinya. INI PERNYATAAN YANG MENNYESATKAN.
DIMANA PEMERINTAH DAN UNDANG-UNDANGNYA. DIMANA PETUGAS KESEHATANNYA (kok
langsung ke kalimat ini ya). Bicara program artinya adalah kegiatan pemerintah
yang pasti didukung oleh seluruh sumber daya, ee kok keluarga jadi kambing yang
dihitamkan.
PESANKU: JADILAH PEJABAT
YANG PATUH ATURAN DAN MEMAHAMI KEBIJAKAN, LAKSANAKANLAH KEGIATAN SEBAGAIMANA
PETUNJUK PELAKSANAANNYA. JANGAN JADI ATASAN SEPERTI YANG ADA DI BLOK M. 3 BIJI
SEPULUH RIBU. AKH AKU BAGAIMANA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar